Seleksi Hadist
BALLIGHU 'ANNI WALAU AYAT
SELEKSI HADIST
OLEH : MUHADDISIN
Pemeliharaan Hadis
pasca Pengumpulan dengan Penerapan Kaedah Seleksi
1. Penetapan kaidah Seleksi Hadist
Seleksi hadis telah
berjalan secara de facto sejak pada masa Nabi sampai pada masa pengumpulan
hadis, akan tetapi penetapan kaedah seleksi baru ditetapkan pada akhir abad ke
dua dan awal abad ketiga. Abad ini merupakan masa keemasan dalam sejarah
perjalanan hadis dan penghimpunannya.
Setelah masyarakat muslim semakin berkembang, dan periwayatan hadis
berjalan seiring dengan perkembangan kaum muslim itu sendiri, hadis mulai
mengalami persoalan-persoalan. Persoalan yang paling krusial adalah persoalan
validitas hadis sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi.
Maraknya
perkembangan hadis palsu, dan kekhawatiran para muhaddisin tercampurnya antara
hadis Rasul dan bukan hadis Rasul, memunculkan inisiatif muhaddis untuk menetapkan kaidah seleksi
terhadap hadis ahad, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Syafi’i (195-204 H)
ketika membantah alasan pengingkar sunnah. Jika diperhatikan realitas bahwa
jumlah hadis ahad jauh lebih banyak
dibandingkan dengan hadis mutawatir.
Untuk menjamin
validitas hadis ahad tersebut, muhaddisin berupaya untuk menetapkan kaedah yang
terinspirasi dari realitas seleksi pada masa Rasul dan sahabat, yang pada
pertengahan abad ke dua hijriah dijadikan dasar dalam menerima atau menolak
riwayat yang diterima’
Ada beberapa kaidah
yang berkaitan dengan sanad hadis,[1] yaitu ketersambungan sanad sejak periwat
terakhir sampai kepada Rasul. Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian
sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm)/samar.
Kaedah kedua, berkaitan dengan periwayat kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual Sanad. Dalam khasanah hadis dikenal dengan adil dan ḍabiṫ.
Berikutnya kaedah
yang berhubungan dengan sanad dan matan yaitu tidak mempunyai ilat atau cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang
kelihatannya baik atau sempurna.
Terhindar dari syaz, yaitu kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari
sanad dan matan. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang siqah
tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwavatkan oleh
periwayat-periwayat siqah lainnva.
2. Penerapan Kaedah dalam Menyeleksi Hadis
Untuk menjaga hadis dari aspek validitas dan orisinalitas maka
ada beberapa langkah yang dilakukan oleh
para muhaddisin pasca pengumpulan hadis.
a. Melakukan kritik
Pada masa ini kritik
hadis merupakan kebutuhan yang mendesak. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor:
1) Jalur periwayatan semakin panjang atau jauh
dengan Rasul.
2) Penyebaran hadis berjalan simultan dengan
penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Lasykar Islam yang menaklukkan Irak,
Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar sahabat yang membawa hadis
ke mana pun mereka pergi.
Dalam menerapkan
kaedah seleksi yang berkaitan dengan kualitas pribadi dan kapasitas intelektual
periwayat ada beberapa muhaddis yang sangat konsern dan terkenal di berbagai
thabaqat:[2]
a) Ṭabaqat pertama, di antaranya adalah Malik
ibn Anas (w. 179 H=795 M) di Madinah; Sufyan ibn ‘Uyainah, di Mekah; Sufyan al-
Ṣauri (w. 161 H = 778 M) di Kufah; Syu’bah ibn Hajjaj (w. 160 H) dan Hammad ibn Zaid, di Basrah; dan Abu ‘Amr al-Auza’i (w. 157 H = 774 M.) di
Syam.
b) Ṭabaqat
kedua, di antaranya adalah Waki’ ibn Jarah di Kufah; Yahya ibn Said
al-Qattan dan Abd al-Rahman ibn Mahdi di
Basrah; ‘Abdullah ibn al-Mubarak(w. 181 H= 797 M) di Khurasan; Abu Ishak al-Fazari dan Abu Mashardi Syam.
c) Ṭabaqat ketiga, di antaranya Ahmad ibn
Hanbal (w. 241 H=885 M) dan Yahya ibn Ma’in di Bagdad; ‘Ali ibn al-Madini di
Basrah; Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Numair di Kufah.
d) Ṭabaqat keempat, di antaranya Abu Zur’ah
al-Razi dan Abu Hatim al-Razi di Ray, al-Bukhari, Muslim (w. 261 H= 875 M) dan
abu Ishaq al- Jurjani
e) Ṭabaqat berikutnya di antaranya al-Nasa’i
(w. 303 H= 915 M), al-‘Uqaili, ibn Hiban, Ibn ‘Adi, al-Azdi, al-Khatib
al-Bagdadi, ibn Rumiyah dan al-Zahabi
Untuk kepentingan
kritik sanad hadis dan matan, ada tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua
syarat berkenaan dengan sanad dan matan.
(1) Periwayat bersambung
Periwayat bersambung
artinya masing-masing periwayat tersebut menerima hadis dari periwayat yang
terdekat sebelumnya dan keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada
periwayat yang pertama yang menerima hadis dari Rasul.[3]
Kriteria sanad
bersambung dalam prakteknya kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup
masing-masing periwayat dan lambang-lambang periwayatan yang menghubungkan
antara satu periwayat dengan periwayat lain. Telaahan tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui kebersambungan sanad hanya sebatas kesezamanan (mu’aşarah)
atau pertemuan dalam kapasitas guru dan murid (liqa’).
Sanad bersambung
(ittiṣal al-sanad), dalam prakteknya diketahui dari ada hubungan antara guru
dan murid. Hal itu dapat diketahui dari:
· Tahun kelahiran dan wafatnya periwayat
· Tempat pencarian hadis yang dikunjungi
· Guru dan muridnya.
· Kata yang digunakan oleh periwayat dalam
hubungannya dengan periwayat sebelumnya.[4]
Kebersambungan
(muttaṣil) sanad ini menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai saat sekarang
dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sebaliknya keterputusan sanad
mengakibatkan riwayat yang disampaikan tertolak.
(2) Keadilan (integritas kepribadian) Periwayat
Integritas
kepribadian (‘adil) bagi seorang periwayat tercermin dalam komitmen periwayat
terhadap ajaran Islam, kemantapan agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan
kerendahan muru’ah (etika). Karena itu ‘adil mengandung unsur-unsur: beragama
Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, serta memelihara
muru’ah.[5]
Dalam aplikasi
kaedah kualitas pribadi (‘adil) periwayat dilakukakan dengan cara :
· mengamati popularitas keutamaan
periwayat atau integritas kepribadian periwayat yang bersangkutan di kalangan
ulama hadis;
· menyeleksi penilaian dari para kritikus
hadis;
· penerapan kaedah-kaedah jarh dan ta’dil.
(3) Kapasitas Intelektual (ḍabit)
Kapasitas
intelektual (ḍabit) adalah kemampuan mengambil pesan-pesan secara pasti melalui
proses pendengaran dan kemampuan untuk menghapal secara kontinyu hingga
pesan-pesan tersebut disampaikan kepada orang lain
Aplikasi kaidah yang
berkaitan dengan kapasitas intelektual periwayat hadis (ḍabit), dilakukan
penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan mengkomparasi riwayat periwayat
dengan periwayat yang ḍabit. Hasilnya
akan diketahui periwayat
Pengujian terhadap
periwayat yang telah dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis
tersendiri yang disebut dengan al-Jarh wa al-Ta’dil. Al-jarh mengandung
pengertian tentang cacat-cacat seorang periwayat yang menyebabkan hadisnya
ditolak. Sedangkan al-ta’dil berkaitan dengan adalat al-rawiy yang karena itu
hadisnya dapat diterima. Hasil pengujian periwayat baik dari aspek integritas
kepribadian periwayat atau pun dari aspek kapasitas intelektual tersebut
berimplikasi pada diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkan.
Jarh wa ta’dil ini,
tampaknya sudah selesai dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas para
periwayat telah dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis. Banyak karya
tulis di bidang ini dari yang sederhana sampai yang paling lengkap. Para
kritikus telah melahirkan karya semisal Mizan al-I’tidal, Tahᶎib al-Tahᶎib, dan
Tahᶎib al-Kamal, untuk saat ini, melalui kitab semacam ini dapat dilacak
kredibilias para periwayat hadis.
(4) Terhindar dari Syaẓ
Syaẓ adalah
kejanggalan dalam bentuk: riwayat yang disampaikan periwayat yang ṡiqah
(periwayat yang adil dan ḍabit) bertentangan dengan para periwayat yang lebih ṡiqah,
baik pada sanad maupun pada matan.[6]
(5) Terhindar dari‘illat
Dalam
mengaplikasikan kaidah terhindar dari
ilat ini, seleksi terhadap hadis dilakukan dengan memperhatikan ada atau
tidaknya ‘ilat. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan komparasi antara
beberapa hadis lengkap dengan sanadnya.
Dengan cara
komparasi tersebut akan diketahui cacat (’ilat) yang terdapat dalam hadis,
berikut ini:
(1). sanad yang
tampak muttaṣil dan marfu’ ternyata muttaṣil dan mawquf, atau mursal.
(2). terjadinya
percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya,
(3). kesalahan dalam
menyebutkan nama periwayat.
Semua kriteria
tersebut di atas disusun dengan logika yang jelas, yang didasari pada argumen-argumen yang relevan dengan
maksud dan tujuan kritik sanad dan matan. Argumen-argumen ini pada dasarnya
adalah bersifat historis di samping juga bersifat normatif. Meskipun
argumen-argumen tersebut berbeda-beda, tetapi semua argumen saling berkait dan
saling memperkuat.
Dari sini dapat
simpulkan bahwa kritik hadis tidak hanya dalam dimensi keilmuan semata, tetapi
juga dalam koridor ajaran dan keyakinan. Karenanya dapat dipahami, bila
acuan-acuan kritik hadis menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab hal ini membawa
beban psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat transendental.
Sementara menyangkut
dengan Kecermatan yang cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan matan,
tampaknya tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi, mengutip Louis Gottschalk,
menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas para saksi hanya bersifat umum,
tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan menyatakan, kesaksian
pengamat dan pelapor yang terdidik atau berpengalaman lebih unggul dari pada
yang tidak terdidik atau yang tidak berpengalaman.[7]
Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan
cukup rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi kualifikasi atas
integritas kepribadian dan kapasitas intelektual periwayat, tampaknya hanya ada
dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu sejarah.
Sedangkan yang
berkaitan dengan matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan (syazd) dan
cacat (illat). Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria sebuah hadis sahih,
yakni hadis yang dianggap valid dan orisinil sebagai ucapan, perbuatan atau
ketetapan Nabi.
a. Hasil Penerapan Kaidah Seleksi ulama Hadis
1. Imam Malik bin Anas (93 H- 179 H) dengan
kitab al-Muwatta’
Imam Malik merupakan
imam Fiqh yang sekaligus imam hadis. Kitab al-Muwatta’ ini dinamai dengan
al-Muwatta’ oleh Imam Malik sendiri, karena berdasarkan riwayat al-Suyuti
dikemukakan: Imam Malik menyatakan:”saya sodorkan kitabku ini kepada 70 orang
fuqaha’ Medinah, semuanya setuju dengan ku tentang kitab itu. Kemudian aku
namai kitab ini dengan Muwatta’”.[1]
Sebagai periwayat
hadis, imam Malik mempunyai kriteria khusus dalam menerima hadis. Untuk kepentingan seleksi tersebut, imam
Malik memberikan persyaratan untuk menerima hadis ahad sebagai sumber hukum.
Kriteria yang
digunakan Imam malik dalam menyeleksi hadis adalah (a). Periwayat bukan orang
yang berperilaku jelek; (b). Periwayat bukan pelaku bid’ah; (c). Periwayat bukan orang yang suka
berdusta dalam hadis; (d) Periwayat bukan orang yang berilmu tetapi tidak
mengamalkan ilmunya.[2] Di samping itu, Imam malik juga melakukan seleksi
dengan cara memisahkan hadis yang bersumber dari Nabi, asar atau fatwa sahabat,
fatwa tabi’in, ijma’ penduduk Medinah dan pendapat imam Malik sendiri.
Hasil seleksi
tersebut dimuat dalam kitab al-Muwatta’.
Di dalam kitab ini, Imam Malik tidak hanya memasukkan hadis yang bersumber dari Nabi,
akan tetapi dari sahabat dan tabi’in. Ada beberapa perbedaan ulama dalam
menentukan jumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatta’, ada yang mengatakan
bahwa hanya 500 hadis yang lulus seleksi dari 100.000 hadis yang dikumpulkannya;[3]
1612 hadis;[4] 1824 hadis; [5] dan ada yang menyatakan jumlah hadisnya 1804.[6]
Kitab al-Muwatta’
ini sampai kepada umat Islam hari ini. Penilaian yang diberikan oleh para ulama
setelah Imam Malik seperti Imam al-Syafi’i menyatakan bahwa:”di dunia ini tidak
ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih dari kitab Muwatta’ Malik.[7]
Komentar Imam al-Syafi’i ini menurut Ibn Shalah [8]muncul sebelum adanya kitab
sahih al-Bukhari dan Muslim.
Memperhatikan hadis
yang ada di dalam kitab al-Muwatta’ al-Suyuti [9] mengemukakan bahwa Sufyan ibn
‘Uyaynah menyatakan: seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Malik adalah sahih.
Walaupun ada yang berpendapat bahwa terdapat beberapa hadis mursal, mauquf dan
maqthu’, [10] hal itu memang Malik memasukkan hadis atau asar sahabat dan
tabi’in yang diangggap sahih oleh Imam Malik.
2. Muhammad bin Idris al-Syafi’i (195-204 H)
Imam Syafi’i telah menghapal Al-Qur’an pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghapal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada
usia 12 (dua belas) tahun,[11] sebelum
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Di hadapan Imam
Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihapalnya di Mekkah, dan
hapalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah
kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai imam Malik wafat pada
tahun 179 H.
Berbeda dengan Imam
Malik, al-Syafi’i memberikan batasan Sunnah hanya yang bersumber dari
Rasulullah SAW. saja.[12] Sementara asar sahabat dan fatwa tabi’in hanya dapat
dijadikan sebagai dasar hukum sekunder, sedangkan dasar primer adalah yang
dating dari Nabi.[13]
Imam Abdurrahman bin
Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i dan memintanya untuk menulis sebuah
kitab yang berisi khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh
dari ayat-ayat al-Qur’an dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang
terkenal, Ar-Risalah.[14] Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin
dengan keṣaḥiḥan sebuah hadis, maka dia akan menyampaikannya
Sebagai seorang yang
mengikuti manhaj Aṣ-ḥab al- Hadiṡ, al-Syafi’i
selalu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber.
Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan
janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Imam Syafi'i dikenal
sebagai seorang ulama yang punya perhatian besar dalam ilmu hadis. Bahkan, ia
sangat mengecam orang-orang yang suka menyebut sebagai penganut sunnah, namun
perilakunya bertentangan dengan ajaran Sunnah.
Imam Syafi'i juga
tak segan-segan untuk menegur pihak-pihak yang menyampaikan seolah-olah hadis
Nabi Muhammad SAW. padahal bukan hadis Nabi. Dalam pandangan Imam Syafi'i,
hadis mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, yakni sumber hukum Islam kedua
setelah Al-Qur’an. Ia sangat mengutamakan sunnah Nabi SAW. dalam melandasi
pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Karena komitmennya mengikuti sunnah dan
membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.[15] Bahkan
seorang ulama besar, Abdul Hamid al-Jundi, menulis sebuah buku dengan judul
Imam Syafi'i, Pembela Sunnah dan Peletak dasar Ilmu Usul Fikih.
Imam al-Syafi’i
dikenal sebagai pembela sunnah, karena perhatiannya yang besar terhadap sunnah
dan mengecam orang yang mengingkari sunnah serta pemalsu hadis. Ahmad ibn
Hanbal menyatakan: “ Bahwa Allah menetapkan di setiap satu abad ada orang yang
mengajarkan sunnah dan meniadakan kebohongan terhadap hadis, 100 tahun pertama
‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz dan 100 kedua adalah al-Syafi’i.[16]
3. Ahmad bin Hanbal [17] (164 - 241 H) dengan
Musnad Ahmad
Imam Ahmad bin
Hanbal seorang muhaddis yang melakukan rihlah atau perlawatan ke beberapa
daerah dalam rangka mencari hadis.
Daerah yang dikunjungi adalah Kufah, Basrah, Mekah, Medinah, Yaman, Siria dan
Mesopotamia.
Dalam menyeleksi
hadis yang diterimanya, Ahmad bin Hanbal menggunakan satu kriteria bahwa hadis tersebut menggambarkan karakter
yang sesungguhnya dari Nabi.[18] Imam Ahmad tidak terlalu menekankan pada
rangkaian periwayat atau isnad. Selama
hadis tersebut diriwayatkan oleh periwayat yang tidak ditinggalkan oleh
muhaddis, maka Ahmad menerima hadis tersebut. Walaupun kriteria yang dipakai
oleh Imam Ahmad tidak seperti yang dipakai oleh al-Bukhari, Muslim imam hadis
lainnya, tetapi bukan berarti bahwa hadis yang diambil Ahmad bin Hanbal tidak
melewati proses seleksi. Hanya saja ada perbedaan kriteria.
Musnad Ahmad dengan
judul “Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal” merupakan kitab hadis terbesar yang
disusun pada abad ketiga hijriah.[19] Kitab ini melengkapi dan menghimpun kitab
hadis sebelumnya dan merupakan kitab yang dapat memenuhi kebutuhan muslim dalam
agama dan dunia.[20]
Musnad Ahmad memuat
40.000 hadis, sekitar 10.000 diantaranya dengan pengulangan. [21] Dari 30.000
hadis yang tidak terulang sekitar 10.000 hadis merupakan tambahan dari ‘Abdullah
putra Ahmad bin hamnbal dan beberapa hadis tambahan dari Abu Bakar al-Qathi’i.
Hadis yang asli dari
Ahmad ibn Hanbal sebelum ada tambahan berkualitas sahih, maqbul dan marfu’
serta sanadnya bersambung.[22] Kalau pun dari hasil penelitian ulama belakangan
ada hadis palsu dalam musnad Ahmad, ternyata itu adalah hadis yang bersumber
dari tambahan yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Qathi’i.[23]
Untuk saat ini,
ketika menjadikan musnad Ahmad sebagai referensi harus dilakukan secara teliti
dan yakin bahwa hadis tersebut bukan hasil tambahan yang berkualitas palsu.
4. Al-Bukhari dan Muslim
1) Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194-256 H)
Muhammad bin Ismail
al-Bukhari [24] sebagai seorang muhaddis, dalam perjalanan pencarian dan
seleksi hadis al-Bukhari menemui ulama hadis dan melawat ke Syam, Mesir,
Jazair, Bashrah, Kufah dan Baghdad.
Al-Bukhari kemudian bermukim di Hijaz selama 6 (enam) tahun.
Dalam sejarah
tercatat bahwa guru hadis al-Bukhari sebanyak 1080 orang yang semuanya ahli
hadis. Al-Bukhari menghapal 100.000
hadis sahih dan 200.000 hadis tidak sahih.
Dalam mengaplikasikan kaedah kesahihan hadis, al-Bukhari telah menghasilkan hadis yang lulus seleksi
berjumlah 4.000 tanpa pengulangan dan 7.275 dengan pengulangan.[25]
Terlepas dari jumlah
hadis yang ada di dalam kitab shahih al-Bukhari, berdasarkan pernyataan
al-Bukhari bahwa semua hadis yang dicantumkan merupakan hasil penyaringan dari
600.000 hadis, selama 16 tahun.[26] Dalam melakukan seleksi hadis yang akan
dimasukkan dalam kitabnya, al-Bukhari meneliti periwayat yang terlibat dalam
periwayatan hadis untuk memastikan kesahihan hadis yang diterimanya. Cara lain
adalah dengan membandingkan hadis yang satu dengan hadis lainnya, meneliti dan
memilih hadis yang menurutnya paling sahih.
Syarat hadis sahih
menurut al-Bukhari adalah [27] (a) Periwayat hadis harus muslim, berakal,
jujur, tidak mudallis dan tidak mukhtaalith, adil, kuat ingatan, selalu
memelihara hadis yang diriwayatkan, sehat pikiran, panca inderanya dipakai
untuk mendengar dan menghapal, sedikit salahnya dan baik aqidahnya. (b). sanadnya bersambung dan (c) matan hadis tidak janggal dan tidak
cacat.
Berdasarkan
penelitian ulama kriteria yang dipakai oleh al-Bukhari lebih ketat dari ulama
hadis sebelumnya, yaitu adanya keharusan bertemu antara guru dan murid, tidak
hanya sezaman.[28] Di samping itu, al-Bukhari dalam menyeleksi hadis lebih
banyak mengambil hadis dari periwayat yang paling tinggi tingkatannya, [29] dan
hanya sedikit mengambil hadis dari periwayat tingkatan kedua.[30]
Berdasarkan
penelitian ulama abad ke enam yang bernama Hazami dan Maqdisi, al-Bukhari
berpegang pada tingkat kesahihan hadis yang paling tinggi, kecuali pada hadis
yang bukan materi pokok seperti hadis yang berfungsi sebagai pendukung dari
jalur sanad lain baik syahid atau
muttabi’.
Di samping cara
ilmiah yang disebutkan di atas, ternyata al-Bukhari juga menggunakan cara lain
untuk memastikan bahwa hadis yang hasil seleksi tersebut benar-benar sahih
seperti yang disampaikan oleh salah seorang muridnya:[31] ”saya mendengar imam
al-Bukhari berkata: ‘aku menyusun al-Jami’ ini di mesjid al-Haram dan aku tidak
akan memasukkan sebuah hadis pun ke dalam kitab ini sebelum aku salat
istikhaarah dua rakaat. Setelah itu baru
aku yakin bahwa hadis itu adalah sahih.’
Melalui kedua aspek
di atas, al-Bukhari meneliti, menyaring dan memilih hadis yang sesuai dengan
kriteria yang sudah ditetapkannya. Hasil dari seleksi tersebut dikumpulkan
dalam Kitab Sahih al-Bukhari dengan
judul al-Jami’ al-Musnad al-sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah wa Sunanih
wa Ayyamih. Kitab ini merupakan kitab pertama yang menghimpun hadis sahih;
lebih banyak hadis sahih; disusun berdasarkan berbagai masalah fiqh.
2) Muslim (204-261 H = 820-875 M) dengan
Sahih Muslim
Muslim[32] sebagai
seorang muhaddis, dalam perjalanan pencarian dan seleksi hadis, sama
dengan al-Bukhari, Muslim menemui ulama
hadis dan melawat ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, Khurasan, Roy, dan Baghdad. [33]
Bahkan ketika kunjungannya ke Baghdad pada waktu yang bersamaan dengan al-Bukhari,
Muslim sering mengikuti majelisnya dan mengambil banyak hadis dari
al-Bukhari.[34]
Dalam
mengaplikasikan kaedah yang sudah ditetapkan, Muslim sangat teliti dalam
mempelajari, menyeleksi hadis yang diriwayatkannya, membandingkan antara
periwayatan yang satu dengan yang lainnya, meneliti susunan lafalnya, dan
memberikan penjelasan jika terdapat perbedaan lafal hadis.
Muslim dalam
melakukan seleksi mengikuti cara al-Bukhari, memperhatikan ilmunya dan
mengikuti bentuk seperti yang dilakukan oleh al-Bukhari.[35] Dalam menyeleksi
hadis Muslim melakukannya terhadap hadis yang sudah dihapalnya atau pun sudah
dicatatnya.
Seleksi hadis
dilakukan Muslim dengan cara menyaring dari 300.000 hadis yang dimilikinya.
Imam Muslim sangat berhati-hati dalam menyeleksi dan memilih hadis dan
berdasarkan argument yang jelas. Kaitan dengan ini, Muslim menyatakan “saya tidak mencantumkan hadis
dalam kitabku, kecuali dengan alasan, dan saya tidak mengugurkan hadis kecuali
dengan alasan pula.[36]
Seleksi tersebut
dilakukan oleh Muslim secara terus menerus, baik sedang ada di tempat menetap
ataupun ketika sedang melawat ke berbagai daerah. Usaha tersebut dilakukan
selama 15 (lima belas) tahun. [37] Waktu
yang sangat panjang dalam melakukan seleksi.
Muslim dalam
melakukan seleksi tidak menjelaskan syarat diterimanya hadis secara eksplisit,
kecuali pada hadis mu’an’an.[38] Kriteria yang ditetapkan oleh Muslim pada
hadis mu’an’an adalah mu’asyarah atau semasa antara guru dan murid, meskipun
mereka tidak bertemu. Namun dalam kitab Sahih Muslim, dimulai dengan
muqaddimah[39] yang berisi gambaran kitab sahihnya serta ilmu hadis yang
digunakan dalam menyaring hadis.
Ada pernyataan
Muslim bahwa ia tidak memasukkan semua hadis sahih ke dalam kitabnya, kecuali
yang sudah disepakati oleh ulama hadis saja.[40] Imam Muslim menyodorkan kitab
yang telah disusunnya selama 15 (lima belas) tahun tersebut kepada 2 (dua)
orang pakar hadis terkemuka di masanya yaitu ḥāfiẓ Makki ibn Ibrahim (126-215
H),[41] dan Abu Zur’ah al-Razi (w. 264
H). Makki ibn Ibrahim berkata: ‘saya
mendengar Muslim berkata: ’aku perlihatkan kitabku ini kepada Abū Zur’ah
al-Razi,[42] semua hadis yang diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya, maka aku
meninggal kannya. Semua hadis yang dikatakan nya ṣaḥiḥ itulah yang aku riwayatkan.
[43] Salah satu bukti lain dari kehati-hatian Imam Muslim terhadap hasil
seleksi yang telah dilakukannya.
Ibn Salah memberikan
komentar tentang pernyataan Muslim ini, kemungkinan yang dimaksudkan adalah
imam Muslim hanya memasukkan hadis yang memenuhi persyaratan sahih yang sudah
disepakati [44] oleh para ulama hadis.
Dari hasil
penelitian para ulama terhadap kitab sahih Muslim ada beberapa kriteria yang
dipakai oleh Muslim dalam menyeleksi hadis yang akan dimasukkan ke dalam
kitabnya, yaitu: (1) hadis tersebut diriwayatkan oleh para periwayat yang adil
dan dabit, dapat dipertanggung jawabkan kejujurannya dan amanah; (2) hadis yang
musnad (lengkap sanadnya), muttasil (bersambung sanadnya), dan marfu’
(bersumber dari Rasulullah). [45] Muslim tidak memasukkan hadis yang mauquf
[46] dan mu’allaq [47] dalam kitabnya.
Kitab hadis hasil
seleksi Muslim ini dikenal dengan Sahih Muslim dengan judul lengkap al-Musnad
al-Sahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an Rasulillah SAW. Untuk
penulisan hasil seleksi tersebut dalam kitab sahihnya, Muslim dibantu oleh
sahabat yang juga muridnya Ahmad ibn Salamah.Kitab ini berisi 12.000 hadis
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad ibn Salamah.[48] Jumlah ini dimungkinkan
ketika didasarkan pada jumlah sanadnya, karena dalam penghitungan ulama lain
jumlah hadis yang ada tidak lebih dari 4.000 hadis.
5. Abu Daud, al-Tirmizi, al-Nasa’i dan Ibn
Majah
1) Abu Daud (202-275 H) dengan Sunannya
Sama dengan
al-Bukhari dan Muslim, Abu Daud dalam pencarian dan penyaringan hadis juga
melakukan rihlah ke berbagai daerah seperti Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah
Arabia, Khurasan, Naisabur dan Basrah.[49]
Berbeda dengan kitab
hadis hasil seleksi imam sebelumnya, Abu Daud lebih memfokuskan dirinya untuk
menyeleksi hadis hukum. Seleksi hadis
dilakukan Abu Daud dengan sangat cermat [50] Hal itu terlihat dari hadis yang
terdapat dalam sunannya yang berjumlah 4.800 hadis tanpa pengulangan dan 5.274
dengan pengulangan. 4.800 hadis tersebut merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis
yang telah dihimpun sebelumnya.[51] Ini menunjukkan betapa selektifnya Abu Daud
dalam melakukan penyusunan hadis.
Dalam melakukan
seleksi, Abu Daud tidak hanya dengan menerapkan kaedah/kriteria hadis sahih
saja, karena Abu Daud juga mengambil hadis ḍa’if dengan catatan hadis ḍa’if
tersebut (1) tidak ditinggalkan oleh ulama hadis sebelumnya atau (2) tidak ada
catatan tentang kelemahan hadis tersebut.[52]
Ada alasan Abu Daud
dalam mengambil hadis ḍa’if yaitu ketika tidak didapatkan hadis lain yang
mengatur masalah tersebut dan untuk tujuan mengubah pandangan hukum ulama
sebelumnya.[53] Bahkan, Abu Daud lebih tegas menyatakan bahwa hadis ḍa’if
dengan kategori seperti yang disebutkan lebih baik dari pada pendapat ulama
[54] yang hanya berdasarkan pemikiran.
Ada yang menarik
dari hasil seleksi yang dimuat dalam kitabnya yang berjudul Sunan Abi Daud tersebut, bahwa Abu Daud
mengambil dan memasukkan hadis dalam kitab hadisnya dengan menyebutkan
klasssifikasi hadis tersebut. Dari surat Abu Daud kepada penduduk Mekah ketika
menjelaskan sunannya, ada lima klassifikasi hadis yaitu (1) hadis ṣaḥiḥ; (2)
hadis yang menyerupai ṣaḥiḥ; (3) hadis yang mendekati ṣaḥiḥ; (4) hadis yang
wahn syadid (hadis yang sangat lemah; (5) hadis ṣaliḥ [55] Klassifikasi yang hampir sama dengan
klassifikasi yang dibuat oleh al-Turmuzi.
Hadis yang memenuhi
kriteria ṣahiḥ, di dalam kitabnya, Abu Daud tidak memberikan penjelasan atau
komentar terhadap hadis tersebut. Bisa
saja hadis tersebut telah dipilih oleh al-Bukhari dan Muslim atau pun hadis
ssahih yang tidak dimuat dalam 2 (dua) kitab sahih tersebut.
Untuk Hadis ḍa’if
yang dipilih, Abu Daud menjelaskan letak kelemahannya. Dengan kenyataan ini
terlihat konsistensi Abu Daud dalam memegang kaedah kesahihan hadis, karena
dengan penjelasan sebab keḍa’ifan hadis menunjukkan bahwa Abu Daud tidak
menurunkan kriteria seleksi hadis. Akan tetapi memberikan penjelasan kepada
umat Islam bahwa hadis tersebut tidak sahih.
Abu Daud juga
memasukkan hadis munkar [56] dalam kitabnya, akan tetapi Abu Daud menjelaskan
bahwa hadis dimaksud adalah munkar. [57] Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa
meskipun hadis munkar dimasukkan dalam kitabnya bukan berarti hadis tersebut
dapat dijadikan dasar hukum. Hal itu
dibuktikan dengan adanya klassifikasi ṣaliḥ oleh Abu Daud, yang dimaksudkan
adalah hadis yang dapat dijadikan hujjah. Konsekwensi logisnya, hadis munkar
tidak dapat dijadikan hujjah.
Sama halnya dengan
Muslim, Abu Daud juga menyodorkan kitab hadis hasil seleksi kepada gurunya
Ahmad bin Hanbal.[58] Ahmad bin Hanbal menilai bahwa kitab Abu Daud bagus.
2) Al-Tirmizi (209-279 H)
Al-Tirmizi dengan
nama lengkap Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Ṡaurat al-Tirmizi, sama dengan
gurunya (al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud) banyak mencurahkan perhatiannya untuk
mengumpulkan dan menyeleksi hadis. Untuk itu, al-tirmizi melakukan perlawatan
ke berbagai daerah Irak, Hijaz, Khurasan dan lain-lain. [59]
Dalam malakukan
seleksi hadis yang akan dimasukkan ke dalam kitabnya, al-Tirmizi menggunakan
metode yang berbeda dengan imam hadis sebelumnya, yaitu: (1) Memilih/
meriwayatkan hadis yang sudah diamalkan
oleh para fuqaha. [60] (2) menjelaskan kualitas dan keadaan hadis yang ia tulis
setelah mendiskusikannya dengan para ulama.[61]
Ada 4 (empat) syarat
yang ditetapkan oleh al-Tirmizi dalam menyeleksi hadisnya, yaitu (1) hadis yang
sudah disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim; (2) Hadis sahih menurut standar
kesahihan Abu Daud dan al-Nasa’i tentang hadis yang tidak disepakati ulama
untuk meninggalkannya dengan catatan harus bersambung sanadnya dan tidak
mursal; (3) Hadis yang tidak dipastikan kesahihannya dengan menjelaskan
sebab-sebab kelemahannya; (4) Hadis yang dijadikan hujjah oleh para fuqaha baik
hadis tersebut ṣaḥiḥ atau tidak. [62]
Hasil seleksi hadis
tersebut dimasukkan dalam kitab al-Jami’ al-Shahih atau Sunan al-Tirmizi
sebanyak 3.956 hadis dengan tidak berulang dan sesuai dengan nomor hadis
berjumlah 4.107 hadis.
Hasil seleksi yang
dilakukan Al-Tirmizi juga memunculkan istilah hasan[63] untuk menjelaskan
kualitas hadis antara sahih dan ḍa’if. Bahkan kata Hasan ini kadang digabungkan
dengan kata lain seperti hasan ṣaḥiḥ, dan ḥasan gharib.
[1] Seperti yang
terdapat dalam Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit., h. 246 dan dapat juga
dilihat dalam Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, Kitab al-Syu’b al-Muwatta’ li Imam wa
‘Alim al-Madinat Mailik bin Anas, (tanpa resensi, h. 4
[2] Ahmad
al-Syarbasi. Sejarah dan Biografi Imam Mazhab,
Sabil Huda dan A. Ahmadi (Penterjemah), Jakarta, Bumi Aksara, 1992, h.
104
[3] Sya’ban Muhammad Isma’il,
Al-Tasyri’ al-Islamiy Mashadiruh wa Athwaruh, Cet. ke 2, Mesir, Maktabat al-
Wahdhat al-Mishriyyat, 1985/ 1405, h. 323.
[4] A.J. Wensinck,
Miftah Kunuz al-Sunnah Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi (Penerjemah), Libanon,
Suhail, 1981, h. lam-mim
[5] Malik bin Anas,
al-Muwatta’, juz II, h. 1004 yang ditahqiq oleh Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi
[6] M. Syuhudi
Isma’il, Cara Praktis Mencari Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1991, h. 82-83
[7] Muhammad Fuad
‘Abd al-Baqi, Kitab al-Syu’b. h. 1
[8] Abu ‘Amr ‘Usman
ibn ‘Abd al-Rahman al-Syahrazury, ‘Ulum al-hadis li Ibn Shalah, Madinat al-Munawwarah,
al-Maktabat al-‘Ilmiyyat, 1973, h.14
[9] Jalaludin
al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarh al- Muwatta’, Beirut, Dar al-Ihya’ Kutub
al-‘Arabiyah, t.t., juz I, h. 9
[10] Seperti yang
diungkapkan oleh Muhammad Zakaria ibn Muhammad Yahya al-Kandahlawi, Muqaddimah
Aujaz al-Masalik ila Muwatta Malik, India, Maktabat al-Sa’adat, 1973, h. 44
[11] Diungkapkan
oleh al-Muzni yang menyatakan bahwa ia mendengar dari Syafi’i , lihat Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Tahzib, juz 9, h. 27
[12] Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muṫallib, Tauṡiq al-Sunnaṯ fi
Qarn al-Ṡanial-HijrAsassuh wa Ittijahuh, Mesir, Maktabah Kharij, 1981, h. 19
[13] Muhammad ibn
Idris al-Syafi’i, al-Risalaṯ, Ahmad Muhammad Syakir (Ed.), Mesir, Maktabaṯ Muṡṫafa
Babi al-Halabi, 1938, h. 73-91
[14] Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Tahzib, juz 9, h. 27.
[15] Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Tahzib , juz 9, h. 28-29
[16] Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Tahzib, juz 9, h. 27
[17] Nama lengkap
Ahmad ibn Muhammad ibn hanbal al-Syaybany.
Ahmad lahir di Baghdad di kota Merv
[18] Ziaul Haque,
Ahmad ibn Hanbal; the Saint Scholar of Baghdad, Nurul Agustina (Petj), Jurnal
Studi-studi Islam al-Hikmah, Bandung, Yayasan Muthahhari, 1992
[19] Şubhi al-Şalih,
op.cit., h. 116
[20] Muhammad Muhammad
Abu Zahw, op.cit., h. 369
[21] Şubhi al-Şalih,
op.cit., h. 395
[22] M. Syuhudi
Isma’il, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung, Angkasa, 1991, h. 118
[23] Ada sekitar 38
atau 29 hadis palsu , Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit., h. 373 dan M.
Syuhudi ismail, Pengantar, h. 118
[24] Muhammad bin
Isma’il al-Bukhari lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H= 21 Juli 810 M w.
malam idul Fitri 256 H=31 Agustus 870 M. Lihat dalam Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul , h. 309 dan
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, op.cit., h. 41
[25] Al-Syahrazury, op.cit., h. 15 Berbeda dengan Ibn Shalah, Ibn Hajar
menyatakan hadis maushul dalam Kitab shahih al-Bukhari tanpa pengulangan
sebanyak 2602 hadis. Hadis mu’allaq
namun marfu’ sebanyak 159 Hadis. Jumlah seluruhnya secara berulang 7397
ditambah hadis mu’allaq 1341 ditambah
dengan muttabi’ 344 hadis, semuanya sebanyak 9082 hadis. Ibn Hajar al-Asqalani,
Hady al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, Beirut, dar al-Fikr, t.t., h. 469
[26] Abu Syuhbah,
op.cit., h. 58
[27] Ibid., h. 59
[28] Shubhi Shalih,
‘Ulum al-Hadis, h. 120, al-Husaini ‘Abdul Majid Hasyim, al-Imam al-Bukhari
Muhaddis wa Faqih, T.Tp. dar
al-Qaumiyyah, t.th, h. 102
[29] Tingkatan
pertama yaitu periwayat yang memiliki sifat adil, kuat hapalan, teliti, jujur
dan lama berguru dengan gurunya. Lihat Abu Syuhbah, op.cit., h. 62
[30] Tingkatan kedua
semuanya sama dengan tingkatan pertama kecuali periwayat tidak lama berguru
dengan gurunya. Ibid.
[31] Abu Syuhbah,
op.cit., h. 58-59
[32] Muslim dengan
nama lengkap Abu al-Husain Muslim Ibn Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy
al-Naysabury. Muslim lahir pada tahun
204 H=820 M dan meninggal pada tahun 261 H=875 M
[33] Abu al-Husain
Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, juz 1, Beirut, dar al-Fikr, 1412 H=1992, h. b
dan c
[34] Muhammad
Isma’il Sya’ban, al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an wa al-Sunnat, Kairo, dar
al-Anshary, t.t., h. 72
[35] Diungkapkan
oleh Al-Khaṭib al-Baghdadi seperti yang
dinyatakan oleh Al-Syahrazuri, op.cit., h. 14
[36] ‘Ajjaj
al-Khatib, usul, h. 317
[37] Abu Syuhbah,
op.cit., h. 83-86
[38] Hadis mu’an’an
dinyatakan muttasil (bersambung sanadnya)
dengan ketentuan mu’asyarah yaitu periwayat yang satu (murid) hidup
semasa dengan periwayat lainnya (guru) dan tidak disyaratkan para periwayat
pernah bertemu (yang disebutkan terakhir ini merupakan perbedaan antara
al-Bukhari dengan Muslim. Lihat Muslim, op.cit.,.Muqaddimah
[39] Isi dari bab
muqaddimah ini adalah penjelasan tentang macam-macam hadis, keadaan para
periwayat, dan ilat hadis. Di dalamnya
juga terdapat anjuran agar umat islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis dan
dilarang meriwayatkan hadis dari periwayat yang lemah dan banyak salahnya.
Ibid.
[40] Muḥammad ibn
Alawi al-Maliki al-Ḥasani, al-Manhaj al- Latīf fī Uṣūl al-Ḥadīs al-Syarīf,
(tanpa resensi), h. 98-99
[41] Lihat Ibn Hajar
al-‘Aṡqalani, Tahzib, juz 10, h. 263-265
[42] Salah seorang
ahli hadis kenamaan dengan nama lengkap ‘Ubaidillah ibn ‘Abdil Karim, yang
hidup semasa dengan Muslim, salah seorang guru dan murid Muslim, dan jarang
tandingannya dalam kekuatan hapalan, kecerdasan, keberagamaan, keikhlasan,
keilmuan dan amalannya, ia wafat tahun tahun 264 H. Lihat Ibn Hajar al-‘Aṡqalani,
Tahzib, juz 7, h. 30-33
[43] Abu Syuhbah,
op.cit., h. 86-87
[44] Ibid., h. 99
[45] Ibid. dan
Muslim, op.cit., h. 21-23
[46] Mauquf adalah
hadis yang sandaran terakhirnya (disandarkan kepada) sahabat atau tidak sampai
kepada Rasulullah. lihat Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat, h. 48
[47] Mu’allaq adalah
hadis yang periwayat di awal sanadnya (periwayat yang menjadi sandaran
penghimpun hadis) gugur (terputus), seorang atau lebih, Ibid., h. 26
[48] Abu Syuhbah
op.cit., h. 92
[49] ‘Ajjaj
al-Khatib, Uṣul, h. 218, Abu Syuhbah, ibid., h. 102
[50] Abu Syuhbah,
ibid.,h. 109 dan Abū Dāud, Sunan Abi \Daud, t.tp, Dar al-Fikr, t.t., h. 10
[51] Muhammad Muhammad
Abu Zahw, op.cit., h. 411 dan Ajjaj al-Khaṭib, Uṣul, h. 321
[52] Abu Syuhbah,
op.cit., h. 109 dan M.M. Azami, Studies in Hadits Metodologi and Literature, A.
Yamin (Ptj), Metodologi Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Hidayah, 1992, h. 121
[53] M.M. Azami,
Metdologi, h. 121
[54] Muhammad
Muhammad Abu Zahw, op.cit., h. 412
[55] Ahmad Umar
Hasyim, Qawa’id al-Hadis, T.tp., Dar al-Fikr, t.t., h.80 . Hadis yang menyerupai sahih adalah hadis yang
sahih karena mendapat dukungan dari jalur sanad lain. Hadis dalam klassifikasi mendekati sahih,
adalah hadis hasan (menurut istilah al-Tirmizi) lizatih
[56] Hadis munkar
adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang ḍa’if baik riwayat atau pun
isisnya bertentangan dengan yang diriwayatkan oleh orang ṡiqat, lihat Ibn Hajar
al-‘Aṡqalani, Nuzhat, h. 21
[57] ‘Ajjaj al-Khaṭib,
Uṣul, h. 321
[58] Abū Dāud ibn
al-Asy’aṡ al-Sijistany, Sunan Abi Daud, T.Tp., Dar al-Fikr, t.t., juz I, h. 12
dan Abu Syuhbah, op.cit., h. 103
[59] Muhammad
Muhammad Abu Zahw, op.cit., h. 360
[60] Kecuali 2 (dua)
hadis (1) hadis tentang kebolehan menjama’ shalat meskipun tidak ada
alasan dan tidak kemana-mana. Lihat Abu
‘Isa Muhammad al-Tirmizi, (selanjutnya disebut al-Tirmizi) Sunan al-Tirmizi,
Beirut, Dar al-Fikr, 1963, h. 392.Terhadap hadis ini terdapat perbedaan
pendapat fuqaha’. (2) hadis tentang
hukuman bunuh bagi peminum khamar yang
terbukti melakukan pidana minum khamar yang ke 4 kali. Hadis ini menurut al-tirmizi
telah mansukh.
[61] al-Tirmizi mengungkapkan bahwa apa yang
disebutkan dalam kitabnya baik mengenai ‘ilal hadis, tentang rijal hadis, dan
sejarah adalah hasil dari kitab tarikh dan kebanyakan adalah hasil diskusi
dengan imam al-Bukhari. Lihat al-Tirmizi, ibid., h. 394
[62] Menurut Abu Faḍl
ibn Ťahir al-Maqdisi, dalam Muhammad al-Mubarakfuri, Tuḥfat al-Aḥwazi bi Syarḥ
Jami’ al-Tirmizi, Mesir, Ba’at al-Madani, 1963, juz 1, h. 362
[63] ‘Ajjaj al-Khaṫib,
al-Sunnat, h. 238
Open Comments
Close Comments
Post a Comment for "Seleksi Hadist"